Dari kasus pembalakan itu, nilai kerugian yang dialami Perum Perhutani Indramayu sepanjang Januari-Agustus 2016 mencapai Rp 56 juta. Sedangkan nilai kerugian akibat kasus serupa pada periode waktu yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 96 juta.
"Meski jumlah kasus dan nilai kerugian turun, tapi ini tergolong masih tinggi," ujar Adang kepada Radar Indramayu.
Adang menjelaskan, tingginya kasus illegal logging di kawasan hutan itu disebabkan terbukanya kawasan tanpa ada pemagaran. Akibatnya, para pelaku dengan leluasa masuk kawasan hutan untuk menebang dan mencuri kayu pohon.
Adang mengatakan, untuk mengatasi maraknya pembalakan liar itu, Perhutani melaksanakan patroli rutin, baik secara represif maupun persuasif. Selain itu, dilakukan pula operasi gabungan antar Resor Pemangkuan Hutan (RPH), Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) yang saling berbatasan.
"Penambahan personel belum ada. Masing-masing KPH ada satu regu pengaman yang terdiri dari 12 orang," terang Adang.
Dia menambahkan, saat ini Perhutanu sudah melaporkan kasus pembalakan liar ke aparat kepolisian. Dari sepuluh berkas kasus yang dilaporkan tahun ini, sudah diputus tujuh kasus di Pengadilan Negeri Indramayu.
Para pelaku kasus pencurian kayu pohon itu divonis dengan masa hukuman yang berbeda-beda. "Meski vonis itu masih agak jauh dari UU Kehutanan, tapi itu ranahnya pengadilan. Kami menghormati dan menerima. Intinya, bukan puas atau tidak puas. Tapi yang penting memberi efek jera kepada pelaku," tegas Adang.
Kepala Komunikasi Perusahaan Perhutani KPH Indramayu, Sabar Simamora menambahkan, penyebab terjadinya kasus pencurian di kawasan hutan lebih dominan akibat faktor sosial dibanding faktor ekonomi. Karena hasil pencurian biasanya digunakan untuk berfoya-foya. (Radar/WD)